Asupriatna’s Weblog

25 25000000Selasa48 2008

Teknik meningkatkan kemampuan membaca anak disleksia (1)

Filed under: Uncategorized — asupriatna @ 00.00

Teknik Orton-Gillingham

Orton-Gillingham adalah program pengajaran yang menekankan kepada multisensori bagi anak-anak disleksia. Program ini menawarkan pendekatan berbasis fonem yang terstruktur dan sekuensial (berurutan) dan memasukkan seluruh pengalaman bahasa serta terfokus pada bunyi huruf, pencampuran (blending) bunyi-bunyi ini ke dalam suku kata dan kata, aturan-aturan membaca dan mengeja, serta silabi

Di samping itu, pendekatan ini mengandalkan interaksi aspek-aspek bahasa visual, auditori dan kinestetik. Adapun tujuan pelajaran Orton-Gillingham agar siswa menjadi pembelajar mandiri yang dapat mengoreksi diri sendiri (self-correcting). Henry dan Green (dalam Reid: 2007, 45) menjelaskan bahwa pelajaran Orton-Gillingham dalam praktiknya dapat menggabungkan teknik mengeja dan membaca diserta dengan aktivitas;

(1)   drill kartu; menggunakan kartu-kartu di pasaran atau yang dibuat sendiri oleh guru yang berisi pola-pola huruf biasa untuk memperkuat modalitas visual: fonem (bunyi) untuk penguatan auditori dan kinestetik, serta suku kata dan kata untuk membantu mengembangkan keterampilan blending;

(2)   daftar kata-kata dan frasa;

(3)   mengeja fonogram yang terpisah, selain juga kata-kata fonetis dan nonfonetis;

(4)   tulisan tangan; perhatikan genggaman pensil, postur tulisan dan bentuk huruf. Juga menjiplak, menyalin dan latihan, dan membuat koneksi kursif yang tepat secara fonetik seperti ‘br’, ‘bl’; dan

(5)   komposisi; beri dorongan untuk membuat kalimat-kalimat tertulis, paragraf dan cerita pendek.

Adapun dalam praktik proses pembelajaran Orton-Gillingham , Reid (2007: 45-47) menjelaskan tahapan-tahapannya adalah

(1)  untuk memulai, sepuluh huruf diajarkan—dua vokal (a, i) dan delapan konsonan (f, l, b, j, h, m, p, t);

(2)  tiap huruf diperkenalkan dengan sebuah kata kunci;

(3)  setelah anak menguasai nama dan bunyi huruf, program dilanjutkan dengan mengenalkan blending (pencampuran) huruf dan bunyi;

(4)  asosiasi visual-kinestetik dan auditori-kinestetik dibentuk dengan cara anak menjiplak, menyalin dan menulis tiap fonogram. Anak-anak diajari fonogram, konsep dan aturan mengeja, sehingga mereka dapat membaca dan mengeja kata-kata yang belum dikenal dengan mengikuti pola ejaan yang sama; dan

(5)  membaca teks/naskah dimulai setelah anak menguasai kata-kata konsonan-vokal-konsonan pada tingkat spontanitas tinggi, yaitu saat mereka dapat mengenali dan menggunakan kata-kata tersebut.

Berdasarkan langkah-langkah di atas, peneliti berpandangan bahwa program tersebut dapat diadaptasi dan dikembangkan dalam meningkatkan anak disleksia di SD Inklusi Kota Bandung. Akan tetapi, perlu diperhatikan dalam implementasinya terutama dalam pengenalan fonem-fonem bahasa Inggris tentunya berbeda dengan pengenalan fonem-fonem dalam bahasa Indonesia. Misalnya, dalam langkah (3) mengenalkan blending (pencampuran) huruf dan bunyi terhadap anak disleksia di Indonesia.

Pengenalan pencampuran huruf dan bunyi fonem dan fonetik bahasa Indonesia dapat dimulai setelah anak mengetahui dua huruf yang dapat dipadukan bersama. Misalnya, setelah belajar vokal /a/ dalam kata /ayam/ dan konsonan /m/ dalam kata /makan/, maka anak dapat  membacakan bunyi [am]. Tujuannya untuk mengajarkan anak untuk secara halus menyebutkan bunyi tersebut secara bersamaan, sehingga tidak boleh terdengar dua bunyi fonem [a] dan [m].  Menurut Reid (2007: 46) ada dua faktor penting mengajarkan blending. Pertama, penting untuk memulai blending dengan fonogram yang dapat mempertahankan bunyi secara kontinyu, seperti [mmmmmmmmmmmmmmm] daripada konsonan yang bunyinya terhenti seperti [t]. Bunyi berikut terdengar kontinyu [m], [s], [n], [f], [h], [l], [v], dan [z]. Maksudnya bunyi fonem-fonem tersebut dapat diteruskan/tidak terhenti. Blending dimulai dengan vokal (v)-konsonan (k) dan kv, lalu berkembang kvk, kkvk, kkvkk, sampai kata-kata yang bersuku kata banyak. Kedua, blending bunyi secara bersama-sama hanya boleh dilakukan dengan fonogram yang tepat secara fonetis.

Lebih lanjut Reid (2007: 47) menjelaskan bahwa untuk membantu anak mencapai kefasihan blending, diperlukan latihan dengan drill sebelum membaca kata-kata sebenarnya. Drill torpedo mudah disiapkan dan menggunakan semua modalitas, contohnya tertera pada gambar berikut.

Tampak pada gambar bahwa  hanya ada konsonan kontinyu di kolom sebelah kiri, dan semua bunyi harus sudah dikenal anak. Gunakan krayon untuk membuat garis pada fonogram, anak-anak harus mengucapkan kata-kata dengan nyaring saat membacakan kata-kata tersebut dan lalu menghasilkan kata-kata yang telah mereka buat. Kata-kata yang tercipta pada latihan blending ini boleh saja tidak ada artinya atau terdengar aneh.

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis berkeyakinan program ini tepat dengan menggunakan pendekatan pembelajaran individual (Individualized Education Program). Hal ini, mengingat setiap siswa disleksia di kelas SD Inklusi memiliki karakter berbeda satu sama lainnya sesuai dengan hasil assessment dalam perencanaan awal. Di samping itu, program ini memiliki kelebihan, karena menganut prinsip belajar berkelanjutan (over-learning), otomatisitas, dan pendekatan multisensori.

Selain itu, program ini pun dapat menumbuhkembangkan pemahaman terhadap konsep dan membunikan fonem. Pandangan ini sejalan penjelasan Green (dalam Reid: 2007, 47) bahwa program OG dapat mengembangkan  keterampilan  metakognitif dan mengembangkan latihan membangun pemahaman. Begitupun dari praktik pembelajaran, program ini mementingkan belajar sambil bermain sesuai dengan pendektan joyfull learning. Hal ini sejalan pandangan Zylstra (dalam Reid: 2007, 47) bahwa dalam pendekatan OG aspek dinamis juga penting, sehingga menunjukkan betapa kreativitas menciptakan games dapat melengkapi, memperluas dan memperjelas banyak skill bahasa.

Kelebihan-kelebihan program OG yang dikemukakan di atas, diperkuat oleh Yoshimoto (dalam Reid, 2007:65) yang telah mengembangkan program dan strategi bagi disleksik berbakat mengikuti program Orton-Gillingham. Ia memastikan bahwa keterampilan berpikir krusial dan belajar berkembang di samping keterampilan dasar decoding yang diperlukan semua anak disleksik, serta esensial bagi kefasihan membaca.

Berdasarkan kelebihan-kelebihan program OG tersebut di atas, maka pelaksanaan pembelajaran OG dalam meningkatkan keterampilan membaca anak disleksia di SD Iklusi dapat diadopsi dan diterapkan dalam kurikulum reguler yang bersamaan dengan siswa normal lainnya.

2 Komentar »

  1. Terima kasih untuk artikel materi. Kebetulan saya sedang mencari cara untuk anak-anak disleksia yang ada di sekolah. Jika ada contoh kartunya beserta tahapan-tahapannya sangat membantu sekali.

    Komentar oleh ita — 25 20000000Senin05 2008 @ 00.00 | Balas

    • Bak Ita, trims ya sudah mau berbagi dengan saya. Isya-Allah kartu-kartunya segera dikirim, tapi berupa satu dimensi, seharus tiga dimensi untuk merangsang saraf taktil anak disleksia

      Komentar oleh asupriatna — 25 20000000Senin14 2008 @ 00.00 | Balas


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan Balasan ke asupriatna Batalkan balasan

Blog di WordPress.com.